Jumat, 15 Februari 2013

Hematokrit Pada Penderita DBD


BAB. I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus (arthropode borne virus). Penularan terjadi melalui gigitan nyamuk A. aegypti atau A. albopictus. Terdapat 4 jenis virus dengue yaitu tipe 1, 2, 3 dan 4. Keempat jenis virus tersebut menyebabkan gejala yang serupa antara lain demam, sakit kepala, nyeri retroorbital dan mialgia. Demam ini dapat disertai perdarahan, renjatan dan kematian. Infeksi oleh virus dengue dibedakan menjadi infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer, hanya dijumpai gejala subklinis atau disertai demam sedangkan infeksi sekunder dapat menimbulkan komplikasi yang berat dan merupakan risiko terjadinya DBD atau dengue syok sindrom (DSS). Kekebalan seumur hidup terhadap serotipe yang homolog muncul setelah infeksi primer. Menjadi hal yang sangat penting untuk membedakan infeksi primer dan sekunder karena dapat digunakan untuk tindak lanjut penanganan penderita secara dini serta untuk prognosis DBD/DSS.
Viremia atau adanya virus dalam aliran darah akan berlangsung selama 1 minggu. Pada awal penyakit akan dibentuk imunoglobulin M (Ig M) anti dengue, tetapi hanya dalam waktu singkat. Selanjutnya akan dibentuk imunoglobulin G (Ig G). Diagnosis laboratorium ditujukan untuk mendeteksi antibodi spesifik dan mengisolasi serta mengidentifikasi virus.  Metode yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi. Kelainan laboratorium lain yang ditemukan adalah leukopenia dan trombositopenia. Bila terjadi renjatan maka dapat terjadi peningkatan hemoglobin maupun hematokrit. Penderita yang diduga demam dengue atau DBD biasanya dianjurkan melakukan pemeriksaan hematologi secara serial untuk mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya renjatan atau perdarahan yang lebih lanjut.
Pada umumnya diagnosis DBD sulit ditegakkan pada awal penyakit karena tanda dan gejalanya yang tidak spesifik sehingga seringkali sulit dibedakan dengan penyakit infeksi virus influenza, campak atau demam typhoid. Case fatality rate dapat diturunkan secara seksama apabila penderita dengan DBD/DSS dapat di diagnosis secara dini dan mendapatkan penatalaksanaan klinis dengan baik.
Diagnosis DBD dilakukan dengan melihat gejala klinis dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang saat ini dipakai untuk menunjang diagnosis demam dengue baik primer maupun sekunder adalah dengan menggunakan pemeriksaan Ig M dan atau Ig G anti dengue karena dapat diperoleh hasil yang cepat dan sensitivitas mirip dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Pemeriksaan ini cukup mahal. Hematokrit dipakai untuk menentukan derajat hemokonsentrasi seorang penderita. (Pusparini,  2004)
B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “ Menghitung Nilai Hematokrit Pada Penderita Demam Berdarah Dengue ”
C.   TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Tujuan :
a.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui nilai hematokrit pada pasien penderita demam berdarah dengue.
b.    Tujuan Khusus
Untuk mengetahui berapa nilai hasil pemeriksaan hematokrit pada penderita demam berdarah dengue
Manfaat :
a.    Bagi pembaca
Bagi pembaca dapat menambah wawasan dan mengetahui cara penetapan hematokrit pada penderita demam berdarah dengue.
b.    Bagi penulis
Bagi penulis sendiri dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan, dan dengan penulisan ini penulis dapat mengetahui cara penetapan hematokrit pada penderita demam berdarah dengue.
D.   METODE PENULISAN
Metode pengumpulan data dilakukan melalui penelitian pustaka (buku,internet)

BAB. II
HEMATOKRIT PADA PENDERITA DBD
1.    Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan Arbovirus B (Arthropod borne virus), genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae, dengan serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus ini termasuk virus dengan single stranded RNA (Foltin, Lebowitz, Fernando, 2004; Centers for Disease Control and Prevention, 2003; Ihsan Jaya, 2008). Penyakit oleh keluarga virus ini ditandai oleh gejala dengan spektrum yang luas, mulai dari asimptomatik, demam, nyeri kepala, myalgia, petekie, netropenia, trombositopenia, hingga renjatan.
Demam Berdarah Dengue ditandai oleh empat manifestasi klinik, yaitu  demam tinggi, perdarahan (terutama kulit), hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi (World Health Organisation, 1997; Ihsan Jaya, 2008).
A.   Patogenesis dan Manifestasi Klinik
1)    Patogenesis
Mekanisme sebenarnya baik patofisiologi, hemodinamika, maupun biokimia pada kasus DBD sejauh ini belum sepenuhnya diketahui. Berbagai hipotesis telah diajukan meski tak satupun yang telah dianggap cukup memadai dalam menjelaskan secara tuntas patogenesisnya. Hipotesis tersebut antara lain: imunopatologi, infeksi sekunder heterolog, Ag-Ab dan aktivasi komplemen, infection enhancing antibody, trombosit endotel, serta mediator dan apoptosis. Sulitnya mendapatkan hewan coba yang representatif merupakan salah satu kendala besar yang dihadapi para peneliti. Kasus-kasus yang terjadi memberikan fakta yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pelbagai teori yang telah diajukan. (Ihsan Jaya, 2008)
2)    Manifestasi Klinik
Demam berdarah dengue ditandai oleh empat manifestasi klinik mayor  yaitu demam tinggi, manifestasi perdarahan (terutama kulit), hepatomegali, dan tanda kegagalan sirkulasi (World Health Organisation, 1997; Ihsan Jaya, 2008).
Menurut Tuchida, dalam: Ihsan Jaya (2008), yang membedakan DBD dengan demam dengue adalah, pada DBD ditemukan permeabilitas pembuluh darah yang tinggi, hipovolemia, hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Fase prarenjatan diawali dengan nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi sempit, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah dan berkeringat. Muntah dan nyeri abdomen persisten meski  tidak masuk kriteria WHO juga perlu diwaspadai. Seringkali terdapat perubahan dari demam menjadi hipotermia disertai berkeringat serta perubahan status mental (somnolen atau iritabilitas).   (Ihsan Jaya, 2008)
B.   Sindrom Renjatan Dengue
Sindrom Renjatan Dengue (SRD) atau dengue shock syndrome (DSS) adalah manifestasi renjatan yang terjadi pada penderita DBD derajat III dan IV (World Health Organisation, 1997; Ihsan Jaya, 2008). Kebanyakan pasien memasuki fase SRD pada saat atau setelah demamnya turun yaitu antara hari ke 3-7  setelah onset gejala.
Pada saat tersebut penderita dapat mengalami hipovolemi hingga lebih dari 30% dan dapat berlangsung selama 24-48 jam (Azhali, 1992; Berita IkatanDokter Indonesia, 2007; Ihsan Jaya, 2008)
C.   Kriteria Diagnosis DBD
Diagnosis klinik penyakit DBD dapat ditegakkan apabila ditemukan dua  atau tiga gejala klinik yang disertai trombositopenia  dan hemokonsentrasi.
1.    Demam tinggi mendadak (38,2-40 °C) dan terus-menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Demam pada penderita DBD disertai batuk, faringitis, nyeri kepala, anoreksia, nausea, vomitus, nyeri abdomen, selama 2-4 hari, juga mialgia (jarang), atralgia, nyeri tulang (Kasper, et al., 1991) dan lekopenia (Centers for Disease Control and Prevention, 2003).
2.    Manifestasi perdarahan, biasanya pada hari kedua demam, termasuk setidak-tidaknya uji bendung (uji Rumple Leede/ Tourniquette) positif dan salah satu bentuk lain perdarahan antara lain purpura, ekimosis,  hematoma, epistaksis, pendarahan gusi dan konjuntiva, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, atau hematochezia), mikroskopik hematuria atau menorrhagia (Azhali, 1992; Hapsari, 2006; Ihsan Jaya, 2008).
3.    Hepatomegali, mulai dapat terdeteksi pada permulaan demam.
4.    Trombositopenia (100.000/mm atau kurang) biasanya ditemukan pada  hari ke dua/tiga, terendah pada hari ke 4-6, sampai hari ke tujuh/sepuluh sakit. (Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007a; Soedarmo, 2005; Ihsan Jaya, 2008)
5.    Tanda perembesan plasma yaitu:
a.    Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
-       peningkatan kadar  hematokrit setinggi kadar hematokrit pada masa pemulihan.
-       peningkatan kadar hematokrit sesuai usia dan jenis kelamin >20% dibandingkan dengan kadar rujukan atau lebih baik lagi dengan data awal pasien.
-       penurunan kadar hematokrit 20% setelah mendapat penggantian cairan.
b.    Hipoalbuminemia.
c.    Efusi pleura, asites atau proteinuria.
6.    Renjatan, biasanya mulai pada hari ketiga sejak sakit (Soedarto, 1996; Centers for Disease Control and Prevention, t.th.b; Ihsan Jaya, 2008). Ia merupakan  manifestasi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi lemah, cepat, kecil  sampai tidak teraba, tekanan nadi (beda tekanan sistolik dan diastolik) menurun (20 mmHg atau kurang), hipotensi (sesuai umur), disertai  kulit teraba dingin dan lembab terutama daerah akral (ujung hidung, jari  tangan dan kaki), penderita tampak gelisah dan timbul sianosis sirkumoral.
Dengan patokan ini 87% penderita yang tersangka penyakit DBD diagnosisnya tepat setelah konfirmasi serologis (Setiawan, et al., 1992; Sunarto, et al., 2004; Ihsan Jaya, 2008; World Health Organisation, 1999).
D.   Derajat Klinis DBD
Derajat klinis DBD diformulasikan oleh WHO dan dijadikan sebagai patokan dalam menilai kondisi klinis penderita DBD. Rumusan ini didasarkan pada keadaan klinis penderita yaitu: demam, manifestasi perdarahan, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Derajat klinis DBD diklasifikasikan ke dalam empat strata. Klasifikasi ini baik pada kasus dewasa maupun anak adalah sama (Siregar, 2005; Kasper, et al.,  1991; Ihsan Jaya, 2008; World Health Organisation, 1997).
Derajat klinis ini telah digunakan sebagai panduan dalam menangani penderita DBD di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Disamping segi penggunaannya yang praktis, keseragaman dan pemanfaatannya dalam studi kesehatan masyarakat memberikan banyak manfaat.
Meski terdapat berbagai perkembangan dan penemuan baru di seputar masalah DBD, termasuk dalam hal variasi klinis (Setiawan, et al.,  1992; Siregar, 2005; Soegijanto, 2006; Ihsan Jaya, 2008), namun hingga saat ini klasifikasi klinis berdasarkan derajat klinis tersebut tetap digunakan (World Health Organisation, 1997; Hassan dan Alatas, 2005; Ihsan Jaya, 2008).
2.    Hematokrit
A.   Pengertian
Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi  (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap (Gandasoebrata, 2004; Kee, 1997; Sutedjo, 2007; Ihsan Jaya, 2008). Dengan demikian kadar hematokrit adalah parameter hemokonsentrasi serta perubahannya. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma darah, misalnya pada kasus hipovolemia. Sebaliknya kadar hematokrit akan menurun ketika terjadi penurunan hemokonsentrasi, karena penurunan kadar seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah, antara lain saat terjadinya anemia.
Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu:
a.    Metode langsung, dengan cara makro atau mikro. Cara mikro kini lebih banyak digunakan, karena hasilnya dapat diperoleh dengan lebih cepa dan akurat.
b.    Metode tidak langsung, yaitu dengan menggunakan konduktivitas elektrik dan komputer. (Dacie dan Lewis, 1977; Ihsan Jaya, 2008)
B.   Penyakit dengan Peningkatan Hematokrit
Dehidrasi/hipovolemia, diare berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum, emfisema paru (stadium akhir), trancient ischaemic attack (TIA), eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar (Kee, 1997; Sutedjo, 2007; Ihsan Jaya, 2008).
C.   Penetapan Nilai Hematokrit
Cara Makro
1.    Isi tabung Wintrobe dengan sampel darah sampai garis nol; boleh juga dipakai sampel yang telah digunakan pada penetapan LED (cara Wintrobe).
2.    Sentrifuge selama 30 menit pada kecepatan 3000 rpm. (rpm = revolution per minute = putaran per menit).
3.    Baca tinggi kolom volume eritrosit yang telah dimanfaatkan. Hasilnya : angka pada skala dikalikan 10.
4.    Nilai normal pada perempuan     : 37 – 47 vol%
Nilai normal pada laki-laki            : 40 – 54 vol%
Cara Mikro
Pada cara ini digunakan pipa kapiler dan alat sentrifuge khusus. Untuk membaca hasilnya dipakai alat pembaca (“reader”) khusus pula.
Pipa kapiler mempunyai panjang 75 mm dengan diameter bagian dalamnya ± 1 mm. Dipasaran dapat diperoleh 2 macam pipa kapiler. Ada tabung yang polos dan ada yang telah dilapisi heparin. Bila dipakai tabung polos maka sampel darah yang akan dipakai harus darah oxalat atau darah EDTA.
Cara Pemeriksaan :
1.    Masukkan sampel darah ke tabung kapiler; biasanya darah akan masuk dengan sendirinya oleh gaya kapilaritasnya; biarkan ± 10 mm bagian ujungnya tidak terisi sampel darah.
2.    Bagian ujung lainnya ditutup dengan semacam senyawaan plastik kemudian letakkan pada piringan dari alat sentrifuge khusus. Perhatikan cara meletakkan tabung kapiler dengan mengingat arah gaya sentrifugalnya
3.    Sentrifuge selama 10 menit pada kecepatan ± 12.000 rpm.
4.    Baca tinggi kolom volume eritrosit pada alat pembacanya, nyatakan hasil dalam vol %.
Setelah pembacaan nilai Hct, dapat diamati adanya 2 lapisan diatas lapisan (endapan) eritrosit :
1.     Lapisan “Buffy coat” terdiri dari leukosit dan trombosit, berbatasan dengan lapisan eritrosit. Lapisan ini berwarna krem dan dapat dipakai untuk mengira secara kasar jumlah leukosit dalam sampeld darah. Pada orang normal lapisan ini tebalnya 0,5 – 1,0 cm; ini setara dengan jumlah leukosit 5.000 – 10.000 per ul. Bila tebal buffy coat > 1 cm berarti jumlah leukosit meninggi, misalnya pada leukemia akut.
2.     Lapisan plasma, terletak diatas lapisan buffycoat. Plasma normal berwarna kuning muda. Pada kelainan tertentu, warna ini berubah. Misalnya : merah berarti ada hemolisis, putih dijumpai pada hipercholes terolemia, keruh ada kemungkinan multiple myeloma. (Herdiana Herman, 2012)
D.   Sumber – sumber kesalahan dalam penetapan nilai hematokrit
1.    Bila memaki darah kapiler tetesan darah pertama harus dibuang karena mengandung cairan intrastitial.
2.    Bahan pemeriksaan yang ditunda lebih dari 6 – 8 jam akan meningkatkan hematokrit.
3.    Bahan pemeriksaan tidak dicampur hingga homogen sebelum pemeriksaan dilakukan.
4.    Darah yang diperiksa tidak boleh mengandung bekuan.
5.    Didaerah beriklim tropis, tabung kapiler yang mengandung heparin cepat rusak karena itu harus disimpan dilemari es.
6.    Kecepatan dan lama pemusingan harus sesuai
7.    Konsentrasi antikoagulan yang digunakan tidak sesuai
8.    Pembacaan yang salah. fenikol ( Kee JL,1997 )
9.    Obat – obatan yang dapat menurunkan hasil hematokrit, seperti : penicilin, kloram. (Iccagagah, 2009)

BAB. III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.    KESIMPULAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus (arthropode borne virus). Penularan terjadi melalui gigitan nyamuk A. aegypti atau A. albopictus.  Diagnosis DBD dilakukan dengan melihat gejala klinis dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang saat ini dipakai untuk menunjang diagnosis demam dengue baik primer maupun sekunder adalah dengan menggunakan pemeriksaan Ig M dan atau Ig G anti dengue karena dapat diperoleh hasil yang cepat dan sensitivitas mirip dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Pemeriksaan ini cukup mahal. Sehingga pemeriksaan Hematokrit dipakai untuk menentukan derajat hemokonsentrasi seorang penderita.
2.    SARAN
Jika pemeiksaan Ig M dan atau Ig G anti dengue dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi tidak dapat dilakukan, maka pemeriksaan Hematokrit yang dipakai untuk menentukan derajat Hemokonsentrasi seorang penderita. Dan juga dalam pemeriksaan diperhatikan sumber-sumber kesalahan dalam penetapan nilai hematokrit agar tidak terjadi kesalahan dalam pemeriksaan dan penetapan nilai hematokrit.

DAFTAR PUSTAKA
Gagah, Icca. 2009. Mari Berbagi : Hematokrit, (online), (http://iccagagah.blogspot.com/2009/05/hematokrit.html, diakses 29 Januari 2013)
Herman, Herdiana. 2012. It’s My Live : Hematokrit, (Online), (http://herdianaakhyar.blogspot.com/2012/10/hematokrit.html, diakses 29 Januari 2013).
Jaya, Ihsan. “Hubungan Kadar Hematokrit Awal Dengan Derajat Klinis DBD”. Skripsi Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.
Pusparini. “Kadar hematokrit dan trombosit sebagai indikator diagnosis infeksi dengue primer dan sekunder”. Skripsi Sarjana Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, 2004.

Riwayat Penulis

                            I Putu Adi Suparsa, lahir di TOLAI pada tanggal 05 Maret 1993 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Lulusan dari SDN 11 BUKALL tahun 2005, SMPN 2 BUKALL tahun 2008, SMAN 1 TORUE tahun 2011, dan saat ini sedang menempuh pendidikan D-3 ANALIS KESEHATAN di UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR. Pada bulan Oktober tahun 2011 bergabung dengan sebuah perusahaan bisnis yang bernama PT. MELIA SEHAT SEJAHTERA. Ayah yang bekerja sebagai Kepala Sekolah bernama I WAYAN JAYA,S.Pd selalu mendidik dengan aplikasi tanpa teori, mendidik menjadi orang yang bertanggung jawab, berjiwa pemimpin, pengabdian dan kejujuran. Ibu yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga bernama NI KETUT SARIANI selalu membina dengan ketulusan untuk mampu bergaul dan menemukan jalan hidup yang lebih baik.
Belajar dari prestasi dan pengalaman dari sang ayah, membuat ia terinspirasi mengikuti jejak karier sang ayah. Menempuh pendidikan dari kampung ke desa, dari desa ke kota, merantau ke negeri orang untuk mencari jati diri. Mengikuti berbagai kegiatan dan training untuk mengumpulkan pengalaman. Berjalan mengikuti arus untuk mencapai tujuan. Keyakinan diri yang kuat membuat ia terus berjuang untuk mencapai karier yang di inginkan.
Belajar dari ketulusan sang ibu, membuat ia terinspirasi untuk tulus menjalani hidup yang penuh perjuangan. Bergaul dengan siapapun untuk berbagi pengalaman dan bertukar pikiran. Selalu mencari hal baru yang bermanfaat untuk mencapai impian dan bermanfaat untuk orang banyak. Berjuang keras untuk menemukan jalan hidup yang lebih baik.
Uraian kata untuk ayah dan ibu “ I love you forever, Dad, Mom. You are an inspiration in my life. I would not waste the struggle, love and affection you for me. I will keep your faith, I will not make you disappointed. I’ll dedicate my life to you, Dad, Mom. Thank you for all you gave to me”.
Penulis memiliki hobi mendengar musik, baginya hidup tanpa musik terasa sunyi. Selalu mencoba berkarya di bidang musik, walau sering gagal namun ia terus berusaha. Selain itu, penulis juga memiliki hobi di bidang fotografi, baginya foto selalu memberikan keindahan dalam hidupnya. Dengan foto, ia selalu berekspresi yang menggambarkan kepribadian dan suasana hatinya.
Dalam menempuh pendidikan di Program Studi D-3 Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur Makassar, penulis memiliki 2 orang sahabat yang selalu memberi motivasi dan membantu setiap masalah. Dua orang sahabat itu adalah Hendry Igor. S dan Syamsul Bahri. Dan juga memiliki seorang pemimpin yang sangat berwibawa yaitu Rasdi Yudarmawan sebagai Ketua Tingkat di kelas. Selalu berjuang bersama dalam mencapai tujuan.



Tidak ada komentar: