Jumat, 15 Februari 2013

Alkohol


BAB I. PENDAHULUAN
ALKOHOL
Alkohol (alcohol), terutama dalam bentuk ethyl alcohol (ethanol), telah mengambil tempat penting dalam sejarah umat manusia paling sedikit selama 8000 tahun. Di masyarakat Barat, bir (beer) dan anggur (wine) menjadi kebutuhan pokok sehari-hari sampai abad ke-19. Minuman yang mengandung alkohol yang relatif encer ini lebih disukai dibandingkan dengan air, yang pada masa itu diketahui berkaitan dengan penyakit akut dan kronis. Minuman tersebut memberikan kalori dan zat-zat nutrisi yang penting di samping berfungsi sebagai sumber utama cairan tubuh sehari-hari. Ketika berbagai sistem untuk perbaikan sanitasi dan pemurnian air diperkenalkan pada tahun 1800-an, peranan bir dan anggur sebagai komponen dari bahan nutrisi manusia menjadi kurang penting, dan konsumsi minum-minuman yang mengandung alkohol, termasuk minuman sulingan dengan konsentrasi alkohol lebih tinggi, kini berganti peran menjadi semacam kebiasaan  untuk bersenang-senang yang banyak dijumpai di masyarakat kita.

Saat ini, alkohol dikonsumsi secara luas. Sama seperti obat-obat sedatif-hipnotik lainnya, alkohol dalam jumlah rendah sampai sedang bisa menghilangkan kecemasan dan membantu menimbulkan rasa senang atau bahkan euforia. Akan tetapi, alkohol juga dikenal sebagai obat yang paling banyak disalahgunakan di dunia, suatu alasan yang tepat atas kerugian besar yang mesti ditanggung masyarakat dan dunia medis. Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasanya mengonsumsi minuman beralkohol secara teratur. Mayoritas dari populasi peminum ini bisa menikmati efek memuaskan yang diberikan alkohol tanpa menjadikannya sebagai risiko terhadap kesehatan. Bahkan, fakta terbaru menunjukkan bahwa konsumsi ethanol secukupnya bisa melindungi beberapa orang terhadap penyakit kardiovaskular. Akan tetapi sekitar 10% dari populasi umum di Amerika Serikat tidak mampu membatasi konsumsi ethanol mereka, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyalahgunaan alkohol. Individu-individu yang terus meminum alkohol tanpa mempedulikan adanya konsekuensi yang merugikan secara medis dan sosial yang berkaitan langsung dengan konsumsi alkohol mereka tersebut akan menderita alkoholisme, suatu gangguan kompleks yang nampaknya ditentukan oleh faktor genetis dan lingkungan. Kerugian medis akibat penyalahgunaan alkohol sangatlah mengejutkan; diperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua orang yang pernah masuk rumah sakit selalu disertai dengan masalah yang menyangkut alkohol. Selain itu, setiap tahun ribuan anak dilahirkan di Amerika Serikat dengan cacat morfologis dan fungsional akibat dari pemaparan selama kehamilan terhadap ethanol. Meski telah banyak investasi yang diberikan untuk berbagai penelitian dasar, alkoholisme tetap menjadi penyakit kronis umum yang sulit disembuhkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Alkohol adalah senyawa organik yang mengandung gugus –OH dan merupakan bahan yang mempunyai efek farmakologi dan cenderung menimbulkan ketergantungan serta dapat berinteraksi dengan obat lain.
Alkohol merupakan suatu zat yang paling umum disalahgunakan berhubung sebagai suatu unsure social dan reaksi sebagai sedativum yang bersifat short-acting mempu mengurangi ketegangan dan keluwesan dalam pergaulan dan menimbulkan perasaan euforia. Alkohol adalah campuran etil alkohol dan air, mengandung tidak kurang dari 74,7% v/v atau 92% dan tidak lebih dari 95,2% atau 92,7% C2H6.
Ada beberapa contoh alkohol yang penting, yaitu :
*        Methanol (metil alcohol (CH3OH))
Tidak berwarna, cairan yang larut dalam air. Methanol bersifat racun, jika terminum dalam jumlah yang sangat kecil maupun melalui pernapasan kronis dari methanol dapat menyebabkan kebutaan.
Telah dilaporkan kematian yang disebabkan minum methanol kurang dari 30 ml. Sekarang ini methanol didapat dari reduksi karbon monoksida.
Katalisator CU-
CO + 2H2                                                        CH3OH



260oC, 100-150 atm
Kebanyakan methanol yang diproduksi sekarang dipakai untuk sintesa formal dehida (H2C=0) dan zat kimia yang lainnya.
*        Ethanol (C2H5OH)
Tidak berwarna, cairan yang larut dalam air kadang-kadang disebut alkohol padi-padian karena dapat diperoleh dengan cara fermentasi dari padi-padian. Sebenarnya fermentasi dari semua bahan mengandung karbohidrat seperti anggur, molase dan kentang, juga padi menghasilkan ethanol.
Ethanol yang dipakai untuk minuman masih dibuat secara fermentasi. Ethanol yang dipakai sebagai pelarut dibuat dengan hidrasi dari etilen, suatu zat petrokimia yang didapat dari pemecahan minyak bumi.
Alkohol pada minuman keras mengacu pada ethanol sebagai bahan utamanya.
I.       FARMAKOLOGI DASAR ETHANOL
*        Farmakokinetika
Ethanol adalah molekul kecil yang larut dalam air yang diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna. Setelah minum alkohol dalam keadaan puasa, kadar puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30 menit.
Adanya makanan didalam usus akan memperlambat absorpsinya dengan memperlambat pengosongan lambung.
Distribusi berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan mendekati kadar di dalam darah. Volume distribusi dari ethanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7 L/kg).
Pada dosis oral ekuivalen dari alkohol, kaum wanita mempunyai konsentrasi puncak lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pria, sebagian disebabkan karena wanita mempunyai kandungan cairan tubuh total lebih rendah. Dalam sistem saraf pusat, konsentrasi ethanol meningkat dengan cepat karena otak menampung sebagian besar aliran darah dan ethanol melewati membran biologi dengan cepat.
Lebih dari 90% alkohol yang digunakan dioksidasi didalam hati, sebagian besar sisanya dikeluarkan lewat paru-paru atau urine.
*        Farmakodinamika dari Konsumsi Ethanol Akut
A.    Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat akan dipengaruhi oleh konsumsi alkohol akut. Alkohol menyebabkan sedasi dan menghilangkan kecemasan. Pada konsentrasi lebih tinggi, akan menimbulkan efek-efek seperti pengucapan kata-kata yang kurang jelas, ataksia, pelemahan pertimbangan dan perilaku distribusi, suatu keadaan yang disebut intoksikasi atau keadaan mabuk.
Dosis sedang alkohol cenderung menghambat keterampilan yang memerlukan perhatian dan proses informasi, juga keterampilan motorik yang diperlukan untuk menjalankan kendaraan bermotor, pengaruh sangat besar.
Belum ditemukan adanya reseptor khusus untuk alkohol. Sebaliknya ethanol telah dibuktikan mempengaruhi sejumlah besar protein membran yang berperan dalam proses tranduksi sinyal.
B.     Jantung
Depresi yang berarti dari kontraktilitas miokardium telah diamati pada individu-individu yang secara akut mengkonsumsi alkohol dalam jumlah sedang, yaitu pada konsentrasi didalam darah diatas 100 mg/dl. Biopsi miokardium pada manusia sebelum dan sesudah diberi infus alkohol jumlah ideal menunjukkan adanya perubahan-perubahan ultrastruktur yang mungkin berkaitan dengan gangguan fungsi miokardium.
C.    Otot Polos
Ethanol merupakan suatu vasodilator, yang mungkin sebagai akibat dari efek sistem saraf pusat dan relaksasi langsung otot polos yang disebabkan oleh metabolitnya.
Ethanol juga menyebabkan relaksasi uterus dan sebelumnya diperkenalkannya oba-obat relaksam uterus yang lebih efektif dan lebih aman digunakan secara intravena untuk menekan kelahiran prematur.
*        Konsekuensi dari Konsumsi Alkohol Kronis
Konsumsi alkohol kronis secara nyata sangat mempengaruhi fungsi beberapa organ vital, terutama hati dan sistem saraf.
Selain itu karena ethanol adalah merupakan obat sangat lemah yang membutuhkan konsentrasi ribuan kali lebih tinggi daripada obat-obatan lain yang disalahgunakan untuk menyebabkan efek intoksikasinya.
Konsumsi kronis alkohol dalam jumlah besar mempunyai kaitan dengan meningkatnya resiko kematian, meski minum pada konsentrasi rendah sampai sedang mempunyai efek protektif.
Kematian yang berkaitan dengan konsumsi alkohol adalah disebabkan oleh penyakit hati, kanker, kecelakaan dan bunuh diri.
A.    Hati dan Saluran Cerna
Penyakit hati merupakan komplikasi medis yang paling umum dari penyalahgunaan alkohol, diperkirakan bahwa sekitar 15-30% peminum berat yang kronis pada akhirnya akan menderita penyakit hati yang parah. Penyakit hati alkoholik yang berarti secara klinis pada mulanya mungkin tidak diketahui, selanjutnya berkembang tanpa bukti yang jelas adanya ketidaknormalan nutrisi.
Perlemakan hati alkoholik, suatu kondisi yang reversibel, mungkin berkembang menjadi hepatitis alkoholik dan akhirnya menjadi sirosil dan gagal hati.
Risiko perkembangannya penyakit hati itu adalah erat kaitannya dengan jumlah rata-rata konsumsi sehari-hari dan lamanya penyalahgunaan alkohol. Faktor lainnya yang meningkatkan resiko penyakit hati yang parah adalah adanya infeksi yang bersamaan dengan virus hepatitis B atau C. Para pecandu alkohol akan menderita penyakit hati yang lebih parah dari pada para pecandu alkohol yang tidak terinfeksi.
Bagian-bagian lain dari saluran cerna mungkin juga mengalami kerusakan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung dan pangkreas dan merubah rintangan mukosa, dengan demikian akan meningkatkan resiko terjadinya gestritis dan pangkreatitis. Efek akut dari alkohol pada lambung terutama berkaitan dengan efek toksik ethanol pada mukosa membran dan secara relatif kecil kaitannya dengan peningkatan produksi asam lambung.
B.     Sistem Saraf
1.      Toleransi dan Ketergantungan Fisik
Konsumsi alkohol dalam dosis tinggi selama waktu yang lama menyebabkan terjadinya toleransi dan kebergantungan fisik ataupun psikis. Toleransi terhadap berbagai efek intoksikasi alkohol adalah merupakan proses kompleks yang meliputi perubahan-perubahan yang sulit dimengerti dengan baik didalam sistem saraf dan juga perubahan metabolik.
Peminum alkohol kronis, bila dipaksa untuk mengurangi atau menghentikan meminum alkohol, akan mengalami sindroma putus obat, yang menunjukkan adanya ketergantungan fisik. Gejala-gejala putus alkohol secara klasik terdiri dari hiperaksitabilitas dalam kasus-kasus yang ringan dan konvulsi, psikosistoksik dan delirium tremans adalah kasus-kasus yang parah. Dosis, frekuensi dan lamanya konsumsi alkohol menentukan intensitas sindroma putus obat. Bila konsumsi sudah sangat tinggi, hanya dengan mengurangi tingkat konsumsi saja dapat menuju tanda-tanda putus obat.
2.      Neurotoksisitas
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar selama jangka waktu yang panjang juga dapat menyebabkan defisitneurologis. Abnormalitas neurologis yang paling sering dijumpai pada alkoholisme kronis adalah terjadinya kerusakan saraf periter simetris pecandu.
Alkohol kronis juga menunjukkan gangguan pada cara berjalan dan ataksia yang disebabkan oleh perubahan-perubahan degeneratif didalam sistem saraf pusat. Gangguan neurologis lainnya yang berkaitan dengan alkoholisme adalah demensin dan jarang berupa penyakit demielinasi.
Alkohol juga merusak ketajaman visual, yang disertai dengan penglihatan kabur tanpa rasa sakit yang terjadi setelah konsumsi alkohol yang berat selama beberapa minggu. Perubahan biasanya bersifat bilateral dan simetris dan mungkin juga diikuti oleh proses degenerasi saraf optikus. Pemberian pengganti alkohol seperti methanol akan menyebabkan gangguan visual yang parah.
C.    Sistem Kardiovaskuler
Alkohol mengubah/mempengaruhi sistem kardiovaskuler melalui berbagai cara. Konsumsi alkohol yang berat selama jangka waktu yang lama diakitkan dengan terjadinya kardiomiopati yang meluas dengan hipertropi ventrikuler dan fibriosis kerusakan langsung pada miokardium yang disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol pada mulanya yang diduga disebabkan oleh defisiensi thiamin atau oleh bahan kontaminan didalam minuman yang mengandung alkohol.
Hubungan antara konsumsi alkohol yang berat dan hipertensi telah ditunjukkan dengan jelas dalam berbagai penelitian epidemiologis. Alkohol diperkirakan bertanggung jawab kira-kira 5% dari terjadinya kasus hipertensi, menjadikannya salah satu penyebab yang umum dari hipertensi reversibel.
D.    Darah
Alkohol secara tidak langsung mempengaruhi hematopiesis melalui efek-efek metabolik dan nutrisi juga mungkin secara langsung menghambat proliferasi semua elemen seluler didalam sumsum tulang. Gangguan hermatologis yang terlihat pada peminum kronis adalah berupa anemia ringan yang diakibatkan oleh defisiensi folic acid terkait alkohol. Anemia kekurangan zat besi mungkin disebabkan oleh pendarahan gastrointestinal.
Alkohol juga terlibat  sebagai penyebab dari beberapa sindroma homolitik, beberapa diantaranya berkaitan dengan hiporlipidemia dan penyakit hati yang parah.
E.     Sistem Endokrin dan Keseimbangan Elektrolit
Pemakaian alkohol yang kronis mempunyai efek penting pada sistem endokrin serta pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Laporan klinis berupa ginekomasti dan atroti testis pada pecandu alkohol dengan sifosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam keseimbangan hormon steroid. Ginekomasti dan atroti testis juga ditemukan pada pecandu alkohol yang memiliki sedikit bukti gangguan hati.
Para pecandu alkohol dengan penyakit hati kronis mungkin mempunyai gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, termasuk asites, edema dan efusi. Faktor-faktor tersebut mungkin berkaitan dengan penurunan sintesis protein dan hipertensi portal. Perubahan kalium seluruh tubuh yang disebabkan oleh diare dan muntah-muntah, dan juga aldosteronisme sekunder yang parah, mungkin menyebabkan kelemahan otot dan dapat diperburuk lagi oleh terapi diuretika.
Beberapa pasien alkoholik mengalami hipoglikemia, kemungkinan disebabkan oleh kegagalan dari hepatic glukoneogenesis. Beberapa pecandu alkohol juga mengalami ketosis, disebabkan oleh faktor-faktor lipolitik berlebihan, terutama meningkatnya corlisol dan hormon pertumbuhan.
II.    Farmakologi Klinil Ethanol
Ethanol adalah penyebab dari morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) yang lebih dapat dicegah daripada semua obat-obat lain yang dikombinasi dengan pengecualian tembakau. Hal ini memang benar meskipun konsumsi ethanol tingkat moderat dikaitkan dengan efek sedatif-hipnotik, pengurangan simptom dan perubahan hormonal yang berkaitan dengan stres, dan bahkan dengan penurunan angka kematian.
Pencarian faktor-faktor etiologis tertentu atau identifikasi variabel-variabel predisposisi yang berarti untuk penyalahgunaan alkohol pada umumnya memberikan hasil yang mengecewakan. Tipe kepribadian, tekanan-tekanan kehidupan yang berat, gangguan psikiatri, dan model peran orang tua bukanlah prediktor-prediktor yang reliabel dari penyalahgunaan alkohol. Sementara faktor-faktor lingkungan secara nyata memegang peranan, bukti menunjukkan bahwa ada peran genetika yang sangat besar dari perkembangan terjadinya alkoholisme. Dengan menggunakan petanda genetik baru untuk manusia dan hewan, pencarian intensif mengenai gen-gen yang memberikan kecenderungan ke arah terjadinya kebergantungan alkohol sedang alkohol sedang dikerjakan.
Studi pemetaan genetika juga dilakukan pada hewan pengerat yang secara selektif dibuat bersifat sebagai pemakai alkohol dengan intensitas rendah atau tinggi dan untuk menunjukkan perbedaan keparahan dari seizure akibat reaksi putus alkohol. Sejumlah kandidat gen telah diidentifikasi, termasuk reseptor-reseptor neurotransmiter, kanal-kanal ion, transporter asam amino, dan enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis dan metabolisme neurotransmiter.
III. Pengelolaan Intoksikasi Alkohol Akut
Individu-individu yang tidak tolerans yang mengonsumsi alkohol dalam jumlah besar akan mengalami efek tipikal dari overdosis obat sedatif-hipnotik akut bersamaan dengan efek kardiovaskular yang telah dijelaskan di atas (vasodilatasi, takikardi) dan iritasi gastrointestinal. Karena toleransi itu tidak bersifat mutlak, para pecandu alkohol kronis dapat mengalami intoksikasi yang parah.
Tujuan terpenting dari pengobatan intoksikasi alkohol akut adalah untuk mencegah depresi sistem pernapasan yang parah dan aspirasi muntah. Meskipun dengan kadar ethanol di dalam darah yang sangat tinggi, kemungkinan bertahan hidup itu masih ada selama sistem pernapasan dan kardiovaskular dapat dipertahankan. Rata-rata konsentrasi alkohol di dalam darah pada kasus-kasus yang fatal adalah diatas 400 mg/dL; akan tetapi, dosis mematikan (lethal) dari alkohol itu beragam karena variasi tingkat tolerans.
Para pasien pecandu alkohol yang mengalami dehidrasi dan mungkin muntah-muntah seharusnya juga menerima larutan elektrolit. Jika muntah-muntahnya sangat parah, kalium dalam jumlah besar mungkin diperlukan selama fungsi ginjalnya normal. Hal terpenting adalah mengetahui adanya penurunan konsentrasi fosfat dalam serum, yang mungkin diperburuk oleh pemberian glukosa. Persediaan fosfat yang rendah bisa menyebabkan penyembuhan luka yang kurang baik, defisit neurologis, dan meningkatnya resiko infeksi.
IV. Pengelolaan Sindroma Reaksi Putus Alkohol
Reaksi putus alkohol yang mendadak menyebabkan terjadinya sindroma dengan karakteristik agitasi motoril, kecemasan, insomnia dan menurunnya nilai ambang seizure. Keparahan sindroma biasanya sebanding dengan derajat dan lamanya penyalahgunaan alkohol. Akan tetapi, hal ini juga bisa dimodifikasi oleh pengguna sedatif lain dan faktor-faktor lain yang berkaitan (misalnya diabetes, luka-luka). Dalam bentuk yang paling ringan, sindroma putus alkohol dapat berupa tremor, cemas, dan insomnia selama 6-8 jam setelah pemakaian alkohol dihentikan. Efek ini biasanya akan berkurang  dalam 1-2  hari.
Tujuan utama dari terapi obat-obat selama periode reaksi puts alkohol adalah untuk mencegah seizure, delirium, dan aritmia. Keseimbangan kalium, magnesium, dan fosfat harus diperbaiki secepat mungkin dan konsisten dengan fungsi ginjal. Terapi thiamine diberikan pertama kali pada semua kasus. Orang-orang yang mengalami reaksi putus alkohol tingkat ringan tidak memerlukan bantuan farmakologis lainnya.
Setelah sindroma putus alkohol telah diobati secara akut, pengobatan dengan obat-obat sedatif-hipnotik harus dikurangi berangsur-angsur selama beberapa minggu. Detoksifikasi sempurna tidak dapat dicapai hanya dalam beberapa hari dari pantang alkohol. Beberapa bulan diperlukan untuk memperbaiki fungsi sisten saraf kembali ke normal, khususnya tidur.
V.    Farmakoterapi Alkoholisme
Setelah detoksifikasi, terapi psikososial baik untuk rehabilitasi pasien rawat inap atau rawat jalan yang intensif berfungsi sebagai pengobatan utama untuk kebergantungan alkohol.
Pendekatan pertama pada farmakoterapi adalah memberikan minum-minuman dengan obat-obat yang menyebabkan reaksi tidak menyenangkan terhadap alkohol dengan cara menghambat proses metabolismenya.
Masalah psikiatri lainnya yang paling umum adalah gangguan depresi dan kecemasan, sering terjadi bersamaan dengan alkoholisme dan jika tidak diobati dapat menyebabkan detoksifikasi menjadi kambuh. Pengobatan gangguan yang saling berkaitan ini dengan konseling dan obat-obat dapat membantu menurunkan kecepatan kekambuhan bagi pasien pecandu alkohol.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.      KESIMPULAN
Alkohol adalah senyawa organik yang mengandung gugus OH. Merupakan bahan yang mempunyai efek farmakologi dan cenderung menimbulkan ketergantungan.
Ketergantungan alkohol dapat menyebabkan resiko terhadap kesehatan. Tetapi ada fakta terbaru bahwa dalam dosis tertentu dapat juga menyembuhkan penyakit.
Orang yang telah kecanduan dengan alkohol dapat diobati dengan pemberian terapi obat-obat.
2.      SARAN
Melihat banyaknya kerugian dari mengkonsumsi alkohol maka disarankan untuk tidak mengkonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi.



DAFTAR PUSTAKA
Bertram G. Katzung, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi Pertama; Jakarta; Salemba Medika.

Tidak ada komentar: