BAB I. PENDAHULUAN
ALKOHOL
Alkohol (alcohol),
terutama dalam bentuk ethyl alcohol
(ethanol), telah mengambil tempat penting dalam sejarah umat manusia paling
sedikit selama 8000 tahun. Di masyarakat Barat, bir (beer) dan anggur (wine)
menjadi kebutuhan pokok sehari-hari sampai abad ke-19. Minuman yang mengandung
alkohol yang relatif encer ini lebih disukai dibandingkan dengan air, yang pada
masa itu diketahui berkaitan dengan penyakit akut dan kronis. Minuman tersebut
memberikan kalori dan zat-zat nutrisi yang penting di samping berfungsi sebagai
sumber utama cairan tubuh sehari-hari. Ketika berbagai sistem untuk perbaikan
sanitasi dan pemurnian air diperkenalkan pada tahun 1800-an, peranan bir dan
anggur sebagai komponen dari bahan nutrisi manusia menjadi kurang penting, dan
konsumsi minum-minuman yang mengandung alkohol, termasuk minuman sulingan
dengan konsentrasi alkohol lebih tinggi, kini berganti peran menjadi semacam
kebiasaan untuk bersenang-senang yang
banyak dijumpai di masyarakat kita.
Saat ini, alkohol dikonsumsi secara luas. Sama seperti obat-obat sedatif-hipnotik lainnya, alkohol dalam jumlah rendah sampai sedang bisa menghilangkan kecemasan dan membantu menimbulkan rasa senang atau bahkan euforia. Akan tetapi, alkohol juga dikenal sebagai obat yang paling banyak disalahgunakan di dunia, suatu alasan yang tepat atas kerugian besar yang mesti ditanggung masyarakat dan dunia medis. Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasanya mengonsumsi minuman beralkohol secara teratur. Mayoritas dari populasi peminum ini bisa menikmati efek memuaskan yang diberikan alkohol tanpa menjadikannya sebagai risiko terhadap kesehatan. Bahkan, fakta terbaru menunjukkan bahwa konsumsi ethanol secukupnya bisa melindungi beberapa orang terhadap penyakit kardiovaskular. Akan tetapi sekitar 10% dari populasi umum di Amerika Serikat tidak mampu membatasi konsumsi ethanol mereka, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyalahgunaan alkohol. Individu-individu yang terus meminum alkohol tanpa mempedulikan adanya konsekuensi yang merugikan secara medis dan sosial yang berkaitan langsung dengan konsumsi alkohol mereka tersebut akan menderita alkoholisme, suatu gangguan kompleks yang nampaknya ditentukan oleh faktor genetis dan lingkungan. Kerugian medis akibat penyalahgunaan alkohol sangatlah mengejutkan; diperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua orang yang pernah masuk rumah sakit selalu disertai dengan masalah yang menyangkut alkohol. Selain itu, setiap tahun ribuan anak dilahirkan di Amerika Serikat dengan cacat morfologis dan fungsional akibat dari pemaparan selama kehamilan terhadap ethanol. Meski telah banyak investasi yang diberikan untuk berbagai penelitian dasar, alkoholisme tetap menjadi penyakit kronis umum yang sulit disembuhkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Alkohol adalah
senyawa organik yang mengandung gugus –OH dan merupakan bahan yang mempunyai
efek farmakologi dan cenderung menimbulkan ketergantungan serta dapat
berinteraksi dengan obat lain.
Alkohol merupakan suatu zat yang paling umum disalahgunakan berhubung sebagai
suatu unsure social dan reaksi
sebagai sedativum yang bersifat short-acting mempu mengurangi ketegangan
dan keluwesan dalam pergaulan dan menimbulkan perasaan euforia. Alkohol adalah
campuran etil alkohol dan air, mengandung tidak kurang dari 74,7% v/v atau 92%
dan tidak lebih dari 95,2% atau 92,7% C2H6.
Ada beberapa contoh alkohol yang penting, yaitu :
*
Methanol (metil alcohol (CH3OH))
Tidak berwarna, cairan yang larut dalam air. Methanol
bersifat racun, jika terminum dalam jumlah yang sangat kecil maupun melalui
pernapasan kronis dari methanol dapat menyebabkan kebutaan.
Telah dilaporkan kematian yang disebabkan minum
methanol kurang dari 30 ml. Sekarang ini methanol didapat dari reduksi karbon
monoksida.
Katalisator CU-
CO + 2H2 CH3OH
260oC,
100-150 atm
Kebanyakan methanol yang diproduksi sekarang dipakai
untuk sintesa formal dehida (H2C=0) dan zat kimia yang lainnya.
*
Ethanol (C2H5OH)
Tidak berwarna, cairan yang larut dalam air
kadang-kadang disebut alkohol padi-padian karena dapat diperoleh dengan cara
fermentasi dari padi-padian. Sebenarnya fermentasi dari semua bahan mengandung
karbohidrat seperti anggur, molase dan kentang, juga padi menghasilkan ethanol.
Ethanol yang dipakai untuk minuman masih dibuat secara
fermentasi. Ethanol yang dipakai sebagai pelarut dibuat dengan hidrasi dari
etilen, suatu zat petrokimia yang didapat dari pemecahan minyak bumi.
Alkohol pada minuman keras mengacu pada ethanol
sebagai bahan utamanya.
I. FARMAKOLOGI
DASAR ETHANOL
*
Farmakokinetika
Ethanol adalah molekul kecil yang larut dalam air yang
diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna. Setelah minum alkohol dalam keadaan
puasa, kadar puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30 menit.
Adanya makanan didalam usus akan memperlambat
absorpsinya dengan memperlambat pengosongan lambung.
Distribusi berjalan cepat, dengan kadar obat dalam
jaringan mendekati kadar di dalam darah. Volume distribusi dari ethanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7
L/kg).
Pada dosis oral ekuivalen dari alkohol, kaum wanita
mempunyai konsentrasi puncak lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pria,
sebagian disebabkan karena wanita mempunyai kandungan cairan tubuh total lebih
rendah. Dalam sistem
saraf pusat, konsentrasi ethanol meningkat dengan cepat karena otak menampung
sebagian besar aliran darah dan ethanol melewati membran biologi dengan cepat.
Lebih dari 90% alkohol yang digunakan dioksidasi
didalam hati, sebagian besar sisanya dikeluarkan lewat paru-paru atau urine.
*
Farmakodinamika dari Konsumsi Ethanol Akut
A. Sistem
Saraf Pusat
Sistem saraf pusat akan dipengaruhi oleh konsumsi
alkohol akut. Alkohol menyebabkan sedasi dan menghilangkan kecemasan. Pada
konsentrasi lebih tinggi, akan menimbulkan efek-efek seperti pengucapan
kata-kata yang kurang jelas, ataksia, pelemahan pertimbangan dan perilaku
distribusi, suatu keadaan yang disebut intoksikasi atau keadaan mabuk.
Dosis sedang alkohol cenderung menghambat keterampilan
yang memerlukan perhatian dan proses informasi, juga keterampilan motorik yang
diperlukan untuk menjalankan kendaraan bermotor, pengaruh sangat besar.
Belum ditemukan adanya reseptor khusus untuk alkohol.
Sebaliknya ethanol telah dibuktikan mempengaruhi sejumlah besar protein membran
yang berperan dalam proses tranduksi sinyal.
B. Jantung
Depresi yang berarti dari kontraktilitas miokardium
telah diamati pada individu-individu yang secara akut mengkonsumsi alkohol
dalam jumlah sedang, yaitu pada konsentrasi didalam darah diatas 100 mg/dl.
Biopsi miokardium pada manusia sebelum dan sesudah diberi infus alkohol jumlah
ideal menunjukkan adanya perubahan-perubahan ultrastruktur yang mungkin
berkaitan dengan gangguan fungsi miokardium.
C. Otot
Polos
Ethanol merupakan suatu vasodilator, yang mungkin
sebagai akibat dari efek sistem saraf pusat dan relaksasi langsung otot polos
yang disebabkan oleh metabolitnya.
Ethanol juga menyebabkan relaksasi uterus dan
sebelumnya diperkenalkannya oba-obat relaksam uterus yang lebih efektif dan
lebih aman digunakan secara intravena untuk menekan kelahiran prematur.
*
Konsekuensi dari Konsumsi Alkohol Kronis
Konsumsi alkohol kronis secara nyata sangat
mempengaruhi fungsi beberapa organ vital, terutama hati dan sistem saraf.
Selain itu karena ethanol adalah merupakan obat sangat
lemah yang membutuhkan konsentrasi ribuan kali lebih tinggi daripada obat-obatan
lain yang disalahgunakan untuk menyebabkan efek intoksikasinya.
Konsumsi kronis alkohol dalam jumlah besar mempunyai
kaitan dengan meningkatnya resiko kematian, meski minum pada konsentrasi rendah
sampai sedang mempunyai efek protektif.
Kematian yang berkaitan dengan konsumsi alkohol adalah
disebabkan oleh penyakit hati, kanker, kecelakaan dan bunuh diri.
A. Hati
dan Saluran Cerna
Penyakit hati merupakan komplikasi medis yang paling
umum dari penyalahgunaan alkohol, diperkirakan bahwa sekitar 15-30% peminum
berat yang kronis pada akhirnya akan menderita penyakit hati yang parah.
Penyakit hati alkoholik yang berarti secara klinis pada mulanya mungkin tidak
diketahui, selanjutnya berkembang tanpa bukti yang jelas adanya ketidaknormalan
nutrisi.
Perlemakan hati alkoholik, suatu kondisi yang
reversibel, mungkin berkembang menjadi hepatitis alkoholik dan akhirnya menjadi
sirosil dan gagal hati.
Risiko perkembangannya penyakit hati itu adalah erat
kaitannya dengan jumlah rata-rata konsumsi sehari-hari dan lamanya
penyalahgunaan alkohol. Faktor lainnya yang meningkatkan resiko penyakit hati
yang parah adalah adanya infeksi yang bersamaan dengan virus hepatitis B atau
C. Para pecandu alkohol akan menderita penyakit hati yang lebih parah dari pada
para pecandu alkohol yang tidak terinfeksi.
Bagian-bagian lain dari saluran cerna mungkin juga
mengalami kerusakan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung dan
pangkreas dan merubah rintangan mukosa, dengan demikian akan meningkatkan
resiko terjadinya gestritis dan pangkreatitis. Efek akut dari alkohol pada
lambung terutama berkaitan dengan efek toksik ethanol pada mukosa membran dan
secara relatif kecil kaitannya dengan peningkatan produksi asam lambung.
B. Sistem
Saraf
1. Toleransi
dan Ketergantungan Fisik
Konsumsi alkohol dalam dosis tinggi selama waktu yang
lama menyebabkan terjadinya toleransi dan kebergantungan fisik ataupun psikis.
Toleransi terhadap berbagai efek intoksikasi alkohol adalah merupakan proses
kompleks yang meliputi perubahan-perubahan yang sulit dimengerti dengan baik
didalam sistem saraf dan juga perubahan metabolik.
Peminum alkohol kronis, bila dipaksa untuk mengurangi
atau menghentikan meminum alkohol, akan mengalami sindroma putus obat, yang
menunjukkan adanya ketergantungan fisik. Gejala-gejala putus alkohol secara
klasik terdiri dari hiperaksitabilitas dalam kasus-kasus yang ringan dan
konvulsi, psikosistoksik dan delirium tremans adalah kasus-kasus yang parah. Dosis, frekuensi dan lamanya konsumsi alkohol menentukan
intensitas sindroma putus obat. Bila konsumsi sudah sangat tinggi, hanya dengan
mengurangi tingkat konsumsi saja dapat menuju tanda-tanda putus obat.
2. Neurotoksisitas
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar selama jangka
waktu yang panjang juga dapat menyebabkan defisitneurologis. Abnormalitas
neurologis yang paling sering dijumpai pada alkoholisme kronis adalah
terjadinya kerusakan saraf periter simetris pecandu.
Alkohol kronis juga menunjukkan gangguan pada cara
berjalan dan ataksia yang disebabkan oleh perubahan-perubahan degeneratif didalam
sistem saraf pusat. Gangguan
neurologis lainnya yang berkaitan dengan alkoholisme adalah demensin dan jarang
berupa penyakit demielinasi.
Alkohol juga merusak ketajaman visual, yang disertai
dengan penglihatan kabur tanpa rasa sakit yang terjadi setelah konsumsi alkohol
yang berat selama beberapa minggu. Perubahan biasanya bersifat bilateral dan
simetris dan mungkin juga diikuti oleh proses degenerasi saraf optikus.
Pemberian pengganti alkohol seperti methanol akan menyebabkan gangguan visual
yang parah.
C. Sistem
Kardiovaskuler
Alkohol mengubah/mempengaruhi sistem kardiovaskuler
melalui berbagai cara. Konsumsi alkohol yang berat selama jangka waktu yang
lama diakitkan dengan terjadinya kardiomiopati yang meluas dengan hipertropi
ventrikuler dan fibriosis kerusakan langsung pada miokardium yang disebabkan
oleh penyalahgunaan alkohol pada mulanya yang diduga disebabkan oleh defisiensi
thiamin atau oleh bahan kontaminan didalam minuman yang mengandung alkohol.
Hubungan antara konsumsi alkohol yang berat dan hipertensi
telah ditunjukkan dengan jelas dalam berbagai penelitian epidemiologis. Alkohol
diperkirakan bertanggung jawab kira-kira 5% dari terjadinya kasus hipertensi,
menjadikannya salah satu penyebab yang umum dari hipertensi reversibel.
D. Darah
Alkohol secara tidak langsung mempengaruhi
hematopiesis melalui efek-efek metabolik dan nutrisi juga mungkin secara
langsung menghambat proliferasi semua elemen seluler didalam sumsum tulang.
Gangguan hermatologis yang terlihat pada peminum kronis adalah berupa anemia
ringan yang diakibatkan oleh defisiensi folic acid terkait alkohol. Anemia
kekurangan zat besi mungkin disebabkan oleh pendarahan gastrointestinal.
Alkohol juga terlibat
sebagai penyebab dari beberapa sindroma homolitik, beberapa diantaranya
berkaitan dengan hiporlipidemia dan penyakit hati yang parah.
E. Sistem
Endokrin dan Keseimbangan Elektrolit
Pemakaian alkohol yang kronis mempunyai efek penting
pada sistem endokrin serta pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Laporan
klinis berupa ginekomasti dan atroti testis pada pecandu alkohol dengan sifosis
menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam keseimbangan hormon steroid.
Ginekomasti dan atroti testis juga ditemukan pada pecandu alkohol yang memiliki
sedikit bukti gangguan hati.
Para pecandu alkohol dengan penyakit hati kronis
mungkin mempunyai gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, termasuk asites,
edema dan efusi. Faktor-faktor tersebut mungkin berkaitan dengan penurunan
sintesis protein dan hipertensi portal. Perubahan kalium seluruh tubuh yang disebabkan
oleh diare dan muntah-muntah, dan juga aldosteronisme sekunder yang parah,
mungkin menyebabkan kelemahan otot dan dapat diperburuk lagi oleh terapi
diuretika.
Beberapa pasien alkoholik mengalami hipoglikemia,
kemungkinan disebabkan oleh kegagalan dari hepatic glukoneogenesis. Beberapa
pecandu alkohol juga mengalami ketosis, disebabkan oleh faktor-faktor lipolitik
berlebihan, terutama meningkatnya corlisol dan hormon pertumbuhan.
II. Farmakologi
Klinil Ethanol
Ethanol adalah penyebab dari morbiditas (angka kesakitan) dan
mortalitas (angka kematian) yang lebih dapat dicegah daripada semua obat-obat
lain yang dikombinasi dengan pengecualian tembakau. Hal ini memang benar
meskipun konsumsi ethanol tingkat
moderat dikaitkan dengan efek sedatif-hipnotik, pengurangan simptom dan
perubahan hormonal yang berkaitan dengan stres, dan bahkan dengan penurunan
angka kematian.
Pencarian faktor-faktor etiologis tertentu atau
identifikasi variabel-variabel predisposisi yang berarti untuk penyalahgunaan
alkohol pada umumnya memberikan hasil yang mengecewakan. Tipe kepribadian,
tekanan-tekanan kehidupan yang berat, gangguan psikiatri, dan model peran orang
tua bukanlah prediktor-prediktor yang reliabel dari penyalahgunaan alkohol.
Sementara faktor-faktor lingkungan secara nyata memegang peranan, bukti
menunjukkan bahwa ada peran genetika yang sangat besar dari perkembangan
terjadinya alkoholisme. Dengan menggunakan petanda genetik baru untuk manusia
dan hewan, pencarian intensif mengenai gen-gen yang memberikan kecenderungan ke
arah terjadinya kebergantungan alkohol sedang alkohol sedang dikerjakan.
Studi pemetaan genetika juga dilakukan pada hewan
pengerat yang secara selektif dibuat bersifat sebagai pemakai alkohol dengan
intensitas rendah atau tinggi dan untuk menunjukkan perbedaan keparahan dari seizure akibat reaksi putus alkohol.
Sejumlah kandidat gen telah diidentifikasi, termasuk reseptor-reseptor
neurotransmiter, kanal-kanal ion, transporter asam amino, dan enzim-enzim yang
terlibat dalam sintesis dan metabolisme neurotransmiter.
III. Pengelolaan
Intoksikasi Alkohol Akut
Individu-individu yang tidak tolerans yang mengonsumsi
alkohol dalam jumlah besar akan mengalami efek tipikal dari overdosis obat
sedatif-hipnotik akut bersamaan dengan efek kardiovaskular yang telah dijelaskan
di atas (vasodilatasi, takikardi) dan iritasi gastrointestinal. Karena
toleransi itu tidak bersifat mutlak, para pecandu alkohol kronis dapat
mengalami intoksikasi yang parah.
Tujuan terpenting dari pengobatan intoksikasi alkohol
akut adalah untuk mencegah depresi sistem pernapasan yang parah dan aspirasi
muntah. Meskipun dengan kadar ethanol
di dalam darah yang sangat tinggi, kemungkinan bertahan hidup itu masih ada
selama sistem pernapasan dan kardiovaskular dapat dipertahankan. Rata-rata
konsentrasi alkohol di dalam darah pada kasus-kasus yang fatal adalah diatas
400 mg/dL; akan tetapi, dosis mematikan (lethal)
dari alkohol itu beragam karena variasi tingkat tolerans.
Para pasien pecandu alkohol yang mengalami dehidrasi
dan mungkin muntah-muntah seharusnya juga menerima larutan elektrolit. Jika
muntah-muntahnya sangat parah, kalium dalam jumlah besar mungkin diperlukan
selama fungsi ginjalnya normal. Hal terpenting adalah mengetahui adanya
penurunan konsentrasi fosfat dalam serum, yang mungkin diperburuk oleh
pemberian glukosa. Persediaan fosfat yang rendah bisa menyebabkan penyembuhan
luka yang kurang baik, defisit neurologis, dan meningkatnya resiko infeksi.
IV. Pengelolaan
Sindroma Reaksi Putus Alkohol
Reaksi putus alkohol yang mendadak menyebabkan terjadinya
sindroma dengan karakteristik agitasi motoril, kecemasan, insomnia dan
menurunnya nilai ambang seizure.
Keparahan sindroma biasanya sebanding dengan derajat dan lamanya penyalahgunaan
alkohol. Akan tetapi, hal ini juga bisa dimodifikasi oleh pengguna sedatif lain
dan faktor-faktor lain yang berkaitan (misalnya diabetes, luka-luka). Dalam
bentuk yang paling ringan, sindroma putus alkohol dapat berupa tremor, cemas,
dan insomnia selama 6-8 jam setelah pemakaian alkohol dihentikan. Efek ini
biasanya akan berkurang dalam 1-2 hari.
Tujuan utama dari terapi obat-obat selama periode
reaksi puts alkohol adalah untuk mencegah seizure,
delirium, dan aritmia. Keseimbangan kalium, magnesium, dan fosfat harus
diperbaiki secepat mungkin dan konsisten dengan fungsi ginjal. Terapi thiamine diberikan pertama kali pada
semua kasus. Orang-orang yang mengalami reaksi putus alkohol tingkat ringan
tidak memerlukan bantuan farmakologis lainnya.
Setelah sindroma putus alkohol telah diobati secara
akut, pengobatan dengan obat-obat sedatif-hipnotik harus dikurangi
berangsur-angsur selama beberapa minggu. Detoksifikasi sempurna tidak dapat
dicapai hanya dalam beberapa hari dari pantang alkohol. Beberapa bulan
diperlukan untuk memperbaiki fungsi sisten saraf kembali ke normal, khususnya
tidur.
V. Farmakoterapi
Alkoholisme
Setelah detoksifikasi, terapi psikososial baik untuk
rehabilitasi pasien rawat inap atau rawat jalan yang intensif berfungsi sebagai
pengobatan utama untuk kebergantungan alkohol.
Pendekatan pertama pada farmakoterapi adalah
memberikan minum-minuman dengan obat-obat yang menyebabkan reaksi tidak
menyenangkan terhadap alkohol dengan cara menghambat proses metabolismenya.
Masalah psikiatri lainnya yang paling umum adalah
gangguan depresi dan kecemasan, sering terjadi bersamaan dengan alkoholisme dan
jika tidak diobati dapat menyebabkan detoksifikasi menjadi kambuh. Pengobatan
gangguan yang saling berkaitan ini dengan konseling dan obat-obat dapat
membantu menurunkan kecepatan kekambuhan bagi pasien pecandu alkohol.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Alkohol adalah senyawa organik yang mengandung gugus
OH. Merupakan bahan yang mempunyai efek farmakologi dan cenderung menimbulkan
ketergantungan.
Ketergantungan alkohol dapat menyebabkan resiko
terhadap kesehatan. Tetapi ada fakta terbaru bahwa dalam dosis tertentu dapat
juga menyembuhkan penyakit.
Orang yang telah kecanduan dengan alkohol dapat
diobati dengan pemberian terapi obat-obat.
2. SARAN
Melihat banyaknya kerugian dari mengkonsumsi alkohol
maka disarankan untuk tidak mengkonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bertram G.
Katzung, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi Pertama; Jakarta; Salemba
Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar